Simbol Agama, Pentingkah?



Suatu ketika, penulis membayangkan ada seseorang yang bertanya “bagaimana hukumnya seorang Muslim yang sholat menggunakan jubah “keuskupan” lengkap dengan palang salib yang menggantung di lehernya?
Jika dilihat dari sudut pandang fiqih, tentunya sah-sah saja sholatnya orang tersebut, selama ia memang orang Islam, suci dari hadast, menghadap kiblat, dan memenuhi syarat rukun sholat. Tapi, jika dilihat dari sudut pandang etika, penulis rasa banyak yang tidak setuju dengan perailaku muslim tersebut. Alasannya jelas, karena jubah keuskupan dan salib adalah simbol dari agama Nasrani, yang tentunya bisa dikatakan sebuah penghinaan terhadap Allah SWT., jika simbol tersebut digunakan seorang Muslim ketika ia menghadap Allah SWT. Dan apabila diperpanjang, bisa-bisa orang tersebut – oleh sebagian kalangan Islam Radikal – akan dihukumi halal darahnya, karena sudah menghina Allah SWT.  
Akan tetapi, penulis yakin ada sebagian yang menganggap sholatnya Muslim di atas fine-fine saja. Toh, salib dan jubah itu kan hanya sekedar simbol. Asalkan muslim tersebut tetap meyakini ke-Esa-an Allah SWT, dan tidak mempercayai adanya konsep Trinitas dalam agama Nasrani, maka itu sudah cukup untuk menjadikannya seorang Muslim dan sahnya sholat.
Menarik memang, ketika kita berbicara tentang simbol-simbol dalam agama. Simbol-simbol tersebut bisa berupa benda-benda, seperti palang salib, patung Budha yang duduk di atas teratai, pagoda, tasbih, peci, dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, pakaian pun bisa menjadi simbol-simbol agama.  Seorang laki-laki yang dengan kepala botak, dengan memakai – sejenis – sarung berwarna orange polos, dan menutupi badan atasnya dengan helaian kain berwarna orange akan dapat langsung bisa dikenali bahwa ia adalah seorang Biksu. Begitu pun bagi para pendeta, kita akan segera mengetahui bahwa yang kita lihat adalah pendeta, dengan melihat pakaiannya. Dalam Islam juga seperti itu.
Akan tetapi, simbol-simbol tersebut, saat ini sudah mulai kehilangan  identitasnya. Sekarang, tidak hanya seorang Muslimah yang memakai jilbab/kerudung, wanita-wanita non-Islam pun semakin banyak yang demikian. Kemudian, kerudung yang sejatinya menggambarkan kesholehan seorang wanita, saat ini sedikit demi sedikit telah beralih fungsi. Kita tentu bisa lihat di media-media yang ada, para koruptor menggunakan kerudung/jilbab untuk menutupi mukanya. Yang lelaki pun demikian, tampilan luarnya yang begitu sholeh ternyata juga koruptor.
Penulis teringat pada cerita seorang penjahit (sebut saja Andi) yang ada di sekitar tempat tinggal penulis. Dengan nada agak geram, ia bercerita bahwa baru saja di dekat tempat tinggalnya, polisi menggrebek rumah seorang Ustadz yang kumpul kebo dengan seorang janda. Andi menambahkan bahwa keseharian Ustadz tersebut begitu sholeh, setiap hari selalu menggunakan pakaian yang menurut adat sekitar adalah pakaian Muslim (baju muslim), dan layaknya seorang syekh besar di Timur Tengah, ustadz itu pun berjenggot panjang. Intinya, sebelum penggrebekan itu, Andi dan warga sekitar menganggap Ustadz tersebut adalah orang alim.
Bukankah ini menunjukkan bahwa sudah mulai terjadi pergeseran fungsi atau identitas dari simbol-simbol keagamaan dalam kehidupan sehari-hari? Meskipun satu kasus tidak bisa digunakan untuk melakukan generalisasi, tapi tetap saja, kenyataan tersebut tidak bisa kita abaikan.
Pertanyaannya sekarang, lebih pantas manakah seseorang yang sisi dalamnya tak seindah luarnya, atau yang luarnya tak seindah dalamnya? Kalau di jabarkan secara langsung, lebih pantas manakah seorang Ustadz yang – semisal – kumpul kebo dengan janda, atau prman yang kumpul kebo dengan janda? Secara pribadi, penulis memilih lebih pantas si preman. Ini terlepas dari konsep tobat Imam Ghozali tentang taubat, yang menyatakan orang berilmu – yang dalam hal ini adalah ustadz – mempunyai potensi lebih banyak untuk bertaubat, dari pada orang yang tidak berilmu.
Jika saja, kesholehan seseorang itu dapat dilihat dari luarnya saja, betapa mudahnya untuk menjadi pribadi yang sholeh. Kita cukup pergi ke toko busana Muslim untuk membeli beberapa baju-baju Muslim dan memakainya dalam keseharian. Jika belum terlihat sholih, kita bangun rumah yang bernuansa Islam, dengan hiasan kaligrafi yang banyak. Atau, kita bisa menunaikan haji dan umroh berkali-kali. Jika masih kurang terlihat sholeh, kita bisa membuat acara-acara keagamaan dengan mengundang para fakir, miskin, dan anak yatim-piatu. Jika itu semua dapat dilakukan, tentunya kita akan – setidaknya – terlihat sebagai orang yang Sholih.
Tapi apa memang demikian? Apakah orang yang tiap hari menutup aurotnya di depan umum, tapi menjadi seperti binatang ketika berduaan di kamar dengan yang bukan mahromnya itu dikatakan sholeh? Apakah orang yang haji berkali-kali, tapi juga rajin mengunjungi tempat-tempat maksiat bisa dikatakan sholeh karena seringnya ia mengunjungi Rumah Allah? Apakah seseorang yang selalu menyantuni fakir, miskin, dan anak yatim dari uang yang kotor bisa dikatakan sholeh karena kedermawanannya? Nampaknya tidak demikian, dan memang selamanya tidak demikian.
Bukankah dengan berpenampilan sholeh, tapi melakukan hal-hal yang sangat tercela itu justru lebih menghina Islam? Berapa banyak koruptor yang sudah haji berkali-kali, dan dalam KTP mereka pun tertulis dengan jelas bahwa mereka beragama Islam. Bukankah ini lebih menghina Allah, Nabi Muhammad, dan seluruh Umat Islam daripada seseorang yang Islam yang memakai simbol non-Islam, tapi masih mempunyai iman yang kuat akan Islam? Tapi anehnya, kelompok-kelompok yang sempat penulis sebut dengan kelompok Islam Radikal di atas, yang sering over dalam menghadapi penyelewengan serta penodaan agama dengan fatwa hukum matinya, tidak sekalipun mengecam “para penghina Islam” yang berdasi tersebut. Kedengarannya sepele, tapi memang aneh bukan?
Jika demikian, apakah lantas simbol-simbol yang terlihat dari luar itu tidak penting? Penulis rasa simbol-simbol itu masih penting. Karena bagaimana pun juga, penampilan luar itu sangat menunjang apa yang ada di dalam. Tentu beda, ketika kita berpakaian Muslim dengan ketika tidak berpakaian secara Islami. Rasanya ada yang menjadi rem ketika terlintas niatan buruk. Jadi, tidak bisa kita katakan bahwa tampilan luar tidak penting, tapi hendaknya ada keseimbangan antara tampilan luar dan dalam. Bukankah Islam sendiri mempunyai konsepsi tawasuth, yang biasa dimaknai “di tengah-tengah”. Nah, jika harus memilih untuk meninggalkan anatara tampila luar dan dalam, alangkah baiknya jika yang ditinggal adalah tampilan luar. Biarlah kita dianggap buruk di mata manusia, tapi tetap baik di sisi Sang Maha Pencipta. Meskipun agak menyakitkan, ketika kita dicaci oleh orang-orang, tapi setidaknya kita meyakini bahwa di balik caian mereka terkandung doa buat kita agar kita lebih baik lagi, baik di mata manusia, dan baik di sisi Allah SWT. Bukankah durian itu terlihat begitu jelek dan menakutkan dilihat dari luar? Tapi, di dalamnya tersimpan makanan yang begitu lezat dan mahal. Tidak hanya itu, bukankah kerang mutiara itu terlihat buruk sekali jika dilihat dari luar, tapi di balik keburukan itu, bukankah tersimpan sesuatu yang sangat berharga. Meskipun demikian, tetap saja, pribadi yang baik dari luar dan dalam tetaplah yang terbaik. Karena apa, duarianpun meskipun enak, tidak baik bagi penderita darah tinggi. Mutiara, meskipun indah, ia memiliki potensi membuat diri yang memilikinya menjadi sombong.
Lantas, dalam hal ini, yakni tampilan luar dan dalam, bagaimana sikap tawasuth ini dapat diimplementasikan dalm keseharian? penulis yakin, bahwa setiap individu bisa menjawab pertanyaan tersebut. [] ^_^

0 Response to "Simbol Agama, Pentingkah?"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel