Gus Dur: Negara Islam dan Pembaptisan
Suatu hari, penulis terlibat diskusi kecil dengan salah satu teman.
Diskusi saat itu membahas tentang pemikiran-pemikiran Bapak pluralisme,
almarhum Gus Dur (Abdurrahman Wahid). Diskusi menjadi seru ketika masuk pada
pembahasan tentang konsep Negara Islam. Gus Dur dalam tulisan-tulisannya serta
dialog-dialognya selalu menolak dengan tegas tentang konsep Negara islam ini. Tulisan
beliau yang selalu terngiang adalah semasa hidupnya, ia mencari dengan sia-sia
makhluk yang bernama Negara Islam. Karena memang ada beberapa kelemahan dari
konsep Negara Islam yang sampai saat ini masih diperjuangkan oleh beberapa
kelompok.
Terdapat poin penting yang dapat diambil dari penolakan Gus Dur
terhadap Negara Islam. Yang dibutuhkan suatu negara bukanlah ideologi
keagamaan, sebut saja hukum Islam (syari’at Islam) dijadikan sebagai
ideologi Negara, itu kurang bijak. Terlebih bagi negara yang memiliki tingkat
pluralitas yang tinggi, seperti Indonesia ini. Yang diperlukan dalam suatu
negara adalah moral keagamaan. Perbedaan sederhana antara ideologi keagamaan
dengan moral keagamaan adalah terletak pada formalisme yang digunakan,
Ideologi keagamaan yang dipakai dalam suatu negara berarti
melegalisasi salah satu ideologi agama sebagai acuan dalam bernegara. Ini –
disadari atau tidak – berimplikasi pada munculnya masyarakat kelas dua di
negara tersebut. Warga kelas dua ini adalah mereka yang tidak memilki agama
yang ideologinya dipakai dalam negara. Katakanlah Indonesia ini menggunakan
Hukum Islam, maka secara tidak langsung orang-orang non-Islam menjadi warga
negara kelas dua. Ini berbeda ketika suatu negara menekankan moralitas
keagamaan, seperti kejujuran, keadilan, persamaan hak, kasih sayang, saling
membantu dan lain sebagainya. Nilai-nilai tersebut ada dalam semua agama yang
ada di negeri ini. Jika negeri ini menggunakan moralitas agama tersebut, maka
tidak akan ada kelompok yang terdiskriminasi.
Meskipun demikian, Gus Dur beberapa kali juga menegaskan bahwa ia
tidak menyalahkan atau membenci pemberlakuan hukum Islam secara formal (Negara
Islam). Akan tetapi, ia menyadari akan kemajemukan yang begitu tinggi yang
dimiliki bangsa ini. Sehingga, jika tetap memaksakan atas konsep Negara Islam –
yang sampai ini belum jelas baik dalam pengangkatan kepemimpinan atau ukuran
dari negara yang dijadikan Negara Islam, apakah negara bangsa (nation-state),
negara kota (city-state) atau bahkan seluruh dunia – akan mengancam integritas
wilayah Indonesia.
Lupakah kita terhadap reaksi beberapa tokoh keagamaan dari daerah
Indonesia Timur ketika Piagam Jakarta akan dijadikan sila pertama pada
Pancasila? Mereka mengatakan akan melepaskan diri dari Indonesia jika para
perumus Pancasila tetap memasukkan Piagam Jakarta tersebut. Apa yang dilakukan
oleh para perumus Pancasila – yang kebanyakan dari orang Islam – atas keberatan
tersebut? Mereka akhirnya mengganti sila pertama pada Pancasila dengan “Ketuhanan
Yang Maha Esa” yang bisa diterima oleh semua masyarakat dengan keberagaman
agama yang tinggi.
Ada kritikan yang disampaikan oleh teman penulis bahwa ia agak ilfell
dengan Gus Dur karena Gus Dur pernah diberkati (Baptis) oleh para pendeta
dalam sebuah acara keagamaan umat Nashrani. Kenapa Gus Dur harus mau dibaptis oleh non-Islam. Bukankah baptis itu
sendiri layaknya pengucapan shahadat sebagai tanda keislaman seorang muslim. Bukankah
itu sudah keterlaluan? Bahkan Umar bin Khattab yang terkenal mempunyai
toleransi yang tinggi tidak sampai mengikuti atau masuk dalam peribadatan
non-Islam.
Mengenai hal itu, penulis hanya bisa menjawab – tentunya dari
anggapan pribadi – bahwasanya ada beberapa kemungkinan yang perlu kita ketahi
terlebih dahulu dalam fenomena Gus Dur dibaptis. Pertama, dalam rangka
apa Gus Dur naik di atas panggung bersama dengan pendeta-pendeta. Apakah itu
hanya sekedar penghormatan Gus Dur sebagai tokoh lintas agama? Kemudian, yang kedua,
apakah pembaptisan itu sudah direncanakan sebelumnya dengan izin dari Gus Dur, atau
hanya spontanitas belaka? Karena bisa jadi Gus Dur tidak tahu menahu, kemudian
para pendeta juga tidak merencanakan sebelumnya, maka apakah itu kemudian bisa
dikatakan Gus Dur telah murtad? Selanjutnya, yang ketiga adalah kita
perlu mencari tahu bagaimana sebenarnya prosesi baptis itu sendiri, apakah
spontanitas seperti yang dijalani Gus Dur itu bisa dikatakan suatu pembaptisan,
atau jangan-jangan hanya sekedar doa-doa yang dibacakan oleh para pendeta dan
sangat jauh dari unsur berpindah agama? Wallaahu A'lam
Meskipun diskusi tersebut tidak dapat mencapai titik temu, terlebih
tentang pembaptisan Gus Dur. Akan tetapi, ada perasaan yang lega karena ada
beberapa hal yang awalnya tidak penulis ketahui menjadi tahu setelah diskusi
tersebut. Dari situ juga penulis menyadari beberapa kelemahan atas beberapa
argumen yang beberapa waktu lalu dianggap benar. Termasuk apa yang ada dalam
tulisan ini. Tulisan ini hanya dalam rangka berbagi pengalaman, tidak ada unsur
untuk menampilkan siapa yang benar atau siapa yang salah. Mengutip pernyataan
Imam Syafi’i, “Pendapatku benar, tapi tetap ada kemungkinan salah. Begitu juga
pendapatmu, mungkin saja benar tapi tetap ada kemungkinan salah.” Oleh karena
itu, jika ada argumen atau kata-kata yang tidak sesuai, penulis sangat
mengharapkan kesedian para pembaca untuk melakukan koreksi.
0 Response to "Gus Dur: Negara Islam dan Pembaptisan"
Post a Comment