Cinta Ibarat Pohon, Episode 3 (Selesai): Cabut yang Besar atau Kecil?
Sampai saat ini, saya belum menemukan satu pohon pun yang tidak
mempunyai akar. Artinya, bisa dikatakan semua pohon memiliki akar. Akar – pada sebagian besar pohon – memilki fungsi
sebagai penyerap makanan dan penyangga pohon. Dalam sebuah bangunan, akar pada
pohon ibarat sebuah pondasi yang akan menentukan kokoh atau tidaknya bangunan
itu. Jika pondasinya kuat, maka bangunan yang ada di atasnya pun kuat. Begitupun
sebaliknya, suatu bangunan akan cepat rubuh jika pondasinya tidak kuat. Hal tersebut
juga berlaku pada pohon. Pohon yang memilki akar yang kuat menghujam ke tanah
akan kokoh berdiri dan tidak mudah tumbang. Berbeda dengan pohon yang akarnya
tidak begitu dalam menghujam ke tanah, ketika ada angin yang tidak begitu kuat
datang menerjang, maka akan tumbang.
Lantas, bagaimana dengan cinta? Apakah juga harus memiliki akar
yang kuat? Jika cinta itu diibaratkan dengan pohon, maka dalam hal akar ini pun
juga harus sama dengan pohon. Maksudnya adalah cinta itu juga perlu memiliki
akar yang kuat dan dalam menghujam ke relung hati.
Tapi, pertanyaannya sekarang adalah, apakah akar itu ujug-ujug menjadi
kuat? Kembali lagi ke pembahasan
pertumbuhan dari pohon dan juga cinta. Pada tulisan sebelumnya telah saya
nyatakan bahwa cinta dan pohon itu tumbuh dari yang awalnya kecil menjadi
semakin besar, dan semakin besar. Pertumbuhan itu tak mengecualikan pada akar
itu sendiri. Akar pohon itu selalu menyesuaikan besar-kecilnya pohon (pastinya).
Pohon besar yang berakar besar akan
sangat sulit bagi kita untuk mencabutnya, berbeda dengan pohon yang masih kecil
dengan akar yang tidak begitu banyak dan masih berbentuk seperti benang-benang
kusut, kita akan dapat mencabut pohon itu dengan mudah.
Cinta pun pada dasarnya demikian. Cinta yang masih kecil - yang
dalam masa pertumbuhan – akan mudah dicabut, artinya kita bisa mencabutnya
dengan mudah. Lain halnya jika cinta yang kita jaga sudah tumbuh besar dengan
akar yang menghujam dalam ke lubuk hati kita, tentunya tak akan mudah
mencabutnya.
Kemudian, ada hubungan resiprokal (timbal-balik) dalam suatu
hubungan percintaan. Hati seorang wanita, ibarat vas bunga yang idealnya hanya
bisa ditanami satu pohon saja. Dan seorang laki-laki membawa benih cinta yang
akan tumbuh dalam vas tersebut. Ketika saya – misalnya – mulai tertarik pada
seorang wanita, maka saya akan berusaha menanamkan benih itu ke dalam hatinya. Yang
sering disalahpahami di sini adalah banyak para “pengagum rahasia” yang tidak
pernah ada kemauan untuk mengungkapkan perasaannya pada yang dikaguminya. Hal itu
memang tidak salah, hanya saja saya tidak sependapat.
Coba kita bayangkan, benih itu akan tumbuh di lahan milik orang
lain. Jika kita memaksakan perasaan cinta itu tetap tumbuh tanpa ada izin dari
si pemilik lahan (vas) itu apa akan ada jaminan pohon yang kita tanam akan
tumbuh besar? Menurut saya, ketika seseorang sudah mulai merasakan benih-benih
cinta itu tumbuh, maka hal pertama yang dilakukan adalah memberitahukan kepada “pujaan
hati” akan perasaan yang kita miliki. Tujuannya
apa? Kita ibaratnya meminta izin, apakah dia mengizini benih cinta yang kita
miliki tumbuh dalam “vas” yang ia miliki? Jika ia membolehkan, maka kita
tinggal menjaga pohon itu dengan baik sehingga bisa tumbuh besar, berbunga, dan
berbuah. Tapi, terkadang jawaban yang kita terima tidak sesuai dengan harapan
kita. Andai kata dia tidak membolehkan, alias ditolak. Maka, kita ambil sisi
baiknya saja. Sisi baiknya adalah kita tahu bahwa tidak seharusnya kita merawat
pohon yang mulai tumbuh ini, dan mumpung masih kecil, kita bisa mencabut
– atau setidaknya membiarkan pohon ini mati dengan sendirinya.
Mungkin kedengarannya saya terlalu menganggap remeh tentang cinta. Karena
seenak hati main tanam-cabut semau gue. Tapi, mau bagaimana lagi? Semua
ini adalah pilihan, pilihan tentang memendam perasaan cinta dari hari ke hari
hingga cinta itu menjadi pohon yang sangat besar yang kemudian dihadapkan pada
kenyataan bahwa pohon itu harus digusur paksa yang akan mendatangkan kepedihan
berkepanjangan, atau pilihan menerima kenyataan lebih awal bahwa cinta itu
bertepuk sebelah tangan dengan resiko sedih yang tak terlalu lama.
Kesimpulannya adalah tidak ada yang salah dalam cinta, yang salah
ialah ketika cinta itu kita biarkan terpendam hingga menjadi pohon yang teramat
besar. Beruntung bagi pemendan cinta yang berakhir kebahagiaan dengan
diterimanya cinta itu oleh si “doi”. Tapi, bagaimana jika pada akhirnya, cinta
itu bertepuk sebelah tangan, padahal perasaan itu sudah tumbuh sedemikian
besarnya. Jika ada yang bertanya pada kita, lebih mudah mencabut pohon yang
besar dengan akar yang sudah menghujam ke dalam tanah, atau mencabut pohon yang
masih kecil degan akar yang masih berupa serabut-serabut tipis? []
0 Response to "Cinta Ibarat Pohon, Episode 3 (Selesai): Cabut yang Besar atau Kecil?"
Post a Comment