Sekolah Unggul?? The Best Input??
Jika ada dua
alat pembuat roti. Yang satu bisa menjadikan segala apa yang dimasukkan ke
dalamnya menjadi roti, semisal ketika krupuk dimasukkan ke dalamnya bisa
menjadi roti, jagung di masukkan ke dalamnya bisa pula memnjadi roti, dan
berbagai jenis makanan yang lainnya bisa berubah menjadi roti ketika dimasukkan
pada mesin yang pertama ini. Sedangkan mesin yang kedua hanya bisa mengubah
gandum menjadi roti. Kira-kira, lebih unggulan mana antara mesin yang pertama
dengan mesin yang kedua? Lebih unggul mesin yang bisa merubah apa saja menjadi
roti, atau mesin kedua yang hanya bisa merubah gandum menjadi roti? Secara
pribadi, penulis akan mengatakan bahwa mesin yang pertama lebih unggul dari
mesin yang kedua.
Kemudian, jika
ada dua sekolah, sekolah pertama bisa menerima segala macam karakter serta
kecerdasan calon peserta didik yang berbeda, kemudian bisa mencetak anak-anak
yang luar biasa sebagai hasil dari pendidikan yang ada di sekolah pertama ini.
Sedangkan sekolah yang kedua harus menyeleksi calon-calon peserta didik dengan
– secara tidak langsung memaksakan – standar masuk dengan menggunakan test
kognitif saja. Sederhananya, sekolah pertama tidak mencari the best input untuk
the best output, sedangkan sekolah kedua mencita-citakan the best
output dengan cara – hanya – memasukkan the best input ke dalam
sekolahnya. Pertanyaannya adalah lebih unggul manakah sekolah yang pertama
dengan sekolah yang kedua? Lebih unggul yang tak memakai the best input, atau
yang memakai the best input dengan keluaran yang sama-sama the best?
Secara pribadi, penulis lebih memilih untuk mengatakan sekolah yang pertama
lebih unggul dibandimng dengan sekolah yang kedua.
Nampaknya,
paradigma yang ada di masyarakat luas tentang sekolah yang unggul adalah
sekolah yang memiliki rata-rata kelulusan peserta didiknya tinggi, mempunyai
prestasi dibeberapa kejuaraan baik di tingkat lokal, daerah, nasional, dan
bahkan internasional. Kemudian, yang akhir-akhir ini menjadi tren ialah sekolah
yang menyandang predikat SBI (Sekolah Bertaraf Internasional) atau RSBI
(Rintisan Sekolah Berbasis Internasional) merupakan sekolah yang unggul. Tapia apa
memang sekolah yang unggul hanyalah sekolah yang memiliki cirri-ciri tersebut?
Coba kita
lihat saat awal tahun pelajaran di sekolah-sekolah yang – menurut kesepakatan
publik – dikatakan sekolah yang unggul. Biasanya sekolah-sekolah unggulan –
yang menjadi tempat menggantungkan masa depan yang cerah – menetapkan ujian
seleksi yang ketat untuk para calon peserta didik yang ingin menjadi siswa di
sekolah ini. Beratus bahkan ada yang sampai beribu pendaftar di beberapa
sekolah favorit tiap tahunnya yang semuanya ingin bisa masuk sekolah ini.
Sayangnya, tidak semuanya mampu mewujudkan keinginannya iyu, karena seperti
yang telah kita ketahui, sekolah-sekolah yang sudah menjadi unggulan ini
menerapkan system kuota untuk calon siswa baru yang bisa masuk, dan calon
peserta didik yang nilai akademisnya tinggilah yang bisa terpilih. Sedangkan
calon peserta didik yang nilainya pas-pasan harus melupakan mimpinya bisa menjadi
siswa di sekolah unggulan.
Dengan the
best input, terciptalah the best output. Bukankah ini sangatlah
wajar-wajar saja? Sama wajarnya ketika gandum diubah menjadi roti. Jika prinsip
sekolah unggulan ini dibawa ke ilutrasi
– tentang mesin pembuat roti – di atas, maka sekolah unggulan ini bisa
dikatakan seperti mesin kedua yang hanya bisa bisa merubah gandum menjadi roti.
Jika saat ini ada sekolah yang bisa menerima peserta didik dari latar belakang
yang berbeda dengan kemampuan yang berbeda yang kemudian bisa mencetak output
yang luar biasa, maka sekolah unggulan yang disebutkan di atas tidak lagi
bisa dikatakan sebagai unggulan, melainkan sekolah yang biasa-biasa saja.
Tapi, kita memang
tidak bisa memungkiri bahwa mencetak lulusan-lulusan yang mempunyai kualitas the
best dengan input yang pas-pasan – atau bahkan kurang – adalah hal
yang tidak mudah. Berbeda ketika seorang pendidik yang menghadapi siswa-siswa
yang kualitas dari awalnya sudah bagus, maka untuk menjadikannya menjadi the
best adalah perkara yang tidak sulit. Akan tetapi, hal yang tidak mudah itu
akan menjadi mudah jika ada kerjasama dari semua elemen yang ada. Sumber Daya
Manusia (SDM) yang mumpuni ditambah dengan kemauan yang tinggi, dan yang pasti
dengan doa kepada Allah SWT dan mengharap ridlo-Nya, Insyaallah hal yang
sulit akan berubah menjadi hal yang mudah dan pastinya menyenangkan. Bagaimana
tidak menyenangkan? Ketika semua anak mendapat hak pendidikan yang sama.
Buku
“Sekolahnya Manusia” karya Munif Chatif nampaknya telah mempengaruhi pemikiran
penulis tentang paradigma pendidikan yang “Memanusiakan Manusia”. Bukankah
Allah SWT telah berfirman bahwa manusia adalah sebaik-baik ciptaan? Kalau
awalnya baik, lantas kenapa dalam pendidikan perlu ada seleksi-seleksi yang
membatasi kemampuan siswa?. []
ihirrr...
ReplyDelete