“Dalam Hidupku, Aku Bertanya Dalam Matiku, Aku Menjawab”
Manusia –
dalam sudut pandang Islam – diciptakan dalam dua dimensi, yaitu dimensi ‘Abdullah
dan Khalifatullah. Dimensi ‘Abdullah menghendaki manusia
untuk selalu tunduk dan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Khaliq melalui
aturan-aturan hidup yang dibawa oleh Rasul-rasulnya. Secara sederhana, dimensi
ini membicarakan hubungan Khaliq dengan Makhluq (Hablun Min Allah). Sedangkan dimensi Khalifah sendiri berkaitan dengan
hubungan makhluk dengan makhluk / manusia dengan manusia (Hablun Min an-Naas),
dimana manusia – selaku wakil Allah di bumi – ditugaskan menjaga dan
melestarikan bumi.
Setiap manusia
– yang percaya dengan Hari Akhir – berharap akan mendapatkan kebahagiaan di
dunia dan di akhirat (sa’adatud daraini). Ini adalah tujuan hidup setiap
manusia. Harapan itu tentu tidak bisa kita lepaskan dari kedimensian manusia
sebagai ‘Abdullah dan Khalifatullah. Ketika manusia berhasil
menjaga serta melestarikan apa-apa yang dibumi, termasuk menjaga diri dan
meraih kesuksesan, maka ia bisa dikatakan telah mendapakan kebahagiaan di
dunia. Akan tetapi, jika kebahagiaan di dunia tersebut tidak diimbangi dengan
usaha meraih kebaikan serta kebahagiaan di akhirat, maka manusia tersebut –
bisa dikatakan – gagal menjalankan tugas-tugasnya yang paripurna dan gagal
mencapai tujuan-tujuan hidup.
Pada dasarnya,
fase hidup manusia ada empat tahap. Pertama manusia itu mati, kemudian Allah
menghidupkannya, setelah itu mematikan lagi, dan akhirnya menghidupkan lagi.
Pada fase kedua itulah manusia hidup di dunia ini, kemudian ketika tiba
waktunya, ia akan diwafatkan oleh Allah SWT. dan berada di alam barzah untuk
menunggu Hari Kebangkitan. Setelah manusia dibangkitkan lagi dari kematian,
maka itulah kehidupan yang abadi. Bagi manusia yang semasa hidupnya menjalankan
tugas-tugasnya dengan baik, maka surga adalah tempat ia menjalani kehidupan
yang abadi. Sedangkan manusia yang gagal menjalankan tugas-tugasnya akan
menjadi penghuni neraka yang penuh dengan siksaan.
Maksud
dihidupkannya manusia di bumi ini adalah sebagai proses mencari kebahagiaan di
kehidupan yang abadi kelak. Jadi, dunia ini bukanlah tujuan akhir manusia,
melainkan awal dari perjalanan mencari kebahagiaan yang abadi di kehidupan yang
abadi.
Allah SWT.
memberikan aturan-aturan kepada manusia untuk mencapai kebahagiaan itu melalui para
utusan-utusannya. Peraturan itu sering dikenal dengan syari’at yang selain di
dalamnya berisi tentang perintah-perintah, melainkan juga berisi
larangan-larangan.
Tentunya tidak
ada manusia yang menginginkan kesedihan dan menolak kebahagiaan. Semuanya ingin
mendapatkan kebahagiaan baik kebahagian dunia yang semu, ataupun kebahagiaan
akhirat yang abadi. Oleh sebab itu, setiap manusia akan berlomba-lomba
melaksanakan perintah Allah SWT. dan menjauhi serta meninggalkan
larangan-larangannya.
Sudah
sepatutnya jika manusia berusaha meraih sa’adatuddaraini dengan
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-larangan Allah SWT. Akan tetapi,
kita – sebagai manusia – harus selalu ingat, bahwa manusia hanya bisa berusaha.
Akhirnya, hanya Allah SWT. lah yang memutuskan.
Kita yang
beragama Islam setiap hari selalu sholat lima waktu, selalu puasa di bulan
Ramadlan, selalu berzakat dan bersedekah, selalu berbuat baik, dan lain
sebagainya. Tapi, apakah dengan amal-amalan itu kita dapat menjamin diri kita masuk
ke dalam golongan-golongan orang yang beruntung, atau justru kita akan masuk
golongan orang-orang yang hina. Inilah yang dimaksud dengan ungkapan “Dalam
Hidupku Aku Bertanya”. Bertanya tentang kualitas ibadah kita, apakah mampu
mengantarkan kita menjadi pribadi yang akan memperoleh sa’adatuddaraini
atau tidak?
Kemudian
dilanjutkan dengan “Dalam Matiku, Aku Menjawab”. Maksudnya ialah pertanyaan
kita tentang kualitas ibadah kita hanya akan terjawab ketika kita telah
meninggal dunia. Apakah sholat kita mampu mengantarkan kita menjadi mulia di
sisi Allah SWT.? Apakah puasa kita mampu menjadikan kita istimewa di sisi-Nya?
Apakah zakat yang kita keluarkan mampu menjadikan kita suci di hadapan-Nya?
Semua itu bisa terjawab ketika kita telah meninggal dunia.
Jika memang demikian,
apakah kita lantas berputus asa meraih saadatuddaraini – terlebih kebahagiaan
ukhrawi? Tentu tidak, justru ini seharusnya bisa memotivasi kita untuk semakin
taat beribadah. Kita harus – dari hari ke hari – semakin meningkatkan ibadah
kita. Terlepas dari diterima atau tidaknya ibadah kita, itu bukan lagi menjadi
kewenangan kita. Yang pasti adalah Allah SWT. tidaklah tidur, Allah SWT. Maha
Mengetahui segalanya yang nampak atau tidak. Allah SWT. mengetahui akan
ketulusan kita beribadah jika kita memang benar-benar tulus. Begitu pun
sebaliknya, Allah SWT. pun tahu jika ibadah-ibadah kita tidak murni karenanya,
melainkan karena yang lainnya.
0 Response to "“Dalam Hidupku, Aku Bertanya Dalam Matiku, Aku Menjawab”"
Post a Comment