Malu dalam Perspektif Islam
A. Pendahuluan
Hampir
setiap harinya kita menemukan kasus-kasus kriminal yang ada diberbagai media
massa. Mulai dari kriminal yang ringan (dari sudut pandang yang dirugikan),
semisal kasus mencuri permen sampai pada kasus kriminal yang merugikan banyak
orang, seperti korupsi.
Korupsi
saat ini sudah menjadi hal yang biasa di Indonesia. Hari ini ada koruptor yang
tertangkap, tapi penangkapan segelintir koruptor ini tak sebanding dengan
semakin maraknya oknum-oknum yang korupsi. Istilah koruptor di Indonesia ibarat
“Mati satu tumbuh seribu”. Pertanyaannya sekarang, “ada apa dengan Indonesia
ini? Kenapa koruptor kini menjadi hal yang biasa-biasa saja, bahkan dengan
adanya media, kasus-kasus korupsi mudah terekspos ke halayak luas. Tidak hanya
orang dewasa yang dapat menikmati – ibarat drama – episode-episode korupsi di
Negeri ini, namun juga dapat dinikmati anak-anak. Jika hal ini berlangsung
seara terus menerus, maka korupsi akan menjadi hal yang biasa-biasa saja yang
boleh dilakukan. Apalagi sanksi para koruptor sangat jauh untukbisa dikatakan
membuat jera. Dan lagi-lagi, sanksi yang tak sepadan dengan kerugian yang
ditimbulkan itu dikonsumsi bebas oleh halayak umum.
Para
koruptor memang seakan-akan telah kehilangan rasa malu, baik itu malu kepada
dirinya sendiri, kepada keluarga, kepada tetangga, dan yang pasti mereka telah
kehilangan malu kepada Allah Swt. dan Rasulullah Saw. Saat ini memang sulit
sekali kita bertemu dengan pemimpin-pemimpin yang berkharisma dengan jubah malu
yang masih melekat dalam diri mereka.
Berangkat
dari fenomena pudarnya rasa malu ini, kami mencoba membuka-buka kitab-kitab
hadist serta sekilas membahas tentang malu dalam konteks Islam.
B. Pengertian Malu
Sudah
menjadi kebiasaan, dalam tiap-tiap pembahasan selalu diawali dengan memaparkan
terlebih dahulu tentang arti dari tema yang akan dibahas. Seperti halnya saat
ini, berkaitan dengan malu – yang menjadi tema utama – para ulama berpendapat,
seperti yang dikutip oleh al-Imam Abu Zakaria bahwasanya hakikat malu adalah
budi pekerti yang mengajak agar meninggalkan kejelekan dan mencegah dari
mengurangi hak orang lain.[1]
Malu
itu adalah suatu sifat di dalam jiwa atau satu sifat yang berdiri di dalam jiwa
yang mencegah dari berbuat jelek.[2]
Al-Junaid rahimahullah berkata bahwa hakikat malu ialah sikap yang memotivasi
untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.[3]
Selain
itu, malu dapat dihubungkan dengan kebanyakan akhlak seperti menjaga
kehormatan, lebih mementingkan kepentingan orang lain, sabar, lemah lembut,
pemaaf, baik kepada keluarga, lain-lain.[4]
وروَيْنَا عَنْ أبِي الْقَاسِمِ الْجُنَيْدِ رحمه اللهُ قال
: الْحَيَاءُ رُؤْيَةُ الْأَلَاءِ , أَيِ النِّعَمِ وَرُؤْيَةُ التَّقْصِيْرِ
فَيَتَلَوَّدُ بَيْنَهُمَا حَالَةٌ تُسَمَّى حَيَاءً . والله أعلم .
Artinya: “Dalam
riwayat Abul Qasim Al-Junaid ra., ia berkata: “Malu adalah memandang kebaikan
dan melihat kekurangan diri sendiri. Dari kedua pandangan itu, lahirlah
perasaan yang dinamakan malu.”[5]
Dari
beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa malu adalah kecenderungan
sikap untuk meninggalkan hal-hal yang buruk serta mencegah dari menyia-nyiakan
hak orang lain.
C.
Malu sebagai Fitrah Manusia
Malu merupakan salah satu fitrah
atau tabiat manusia. Allah telah mengabadikan kisah tentang malunya nabi Adam
As. dan Hawa saat aurat mereka terbuka sesaat setelah mereka berdua memakan
buah khuldi dalam,
yang artinya:
“Maka
keduanya memakan buah dari pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya
aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di)
surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah ia.”[6]
Secara
tersurat memang tidak ada penjelasan tentang malu adalah sifat dasar manusia.
Tapi, kita bisa menemukan tersirat bahwa nabi Adam as. dan Hawa seketika
menutupi aurat mereka dengan dedaunan setelah aurat mereka terbuka. Hal
tersebut menegaskan bahwa malu memang sifat dasar yang diberikan Allah Swt.
kepada manusia. Jika malu bukan sifat dasar manusia, tentunya Nabi Adam as. dan
Hawa tidak akan menutup aurat mereka dengan dedaunan. Terdapat sabda Nabi Saw.
yang menegaskan tentang malu adalah sebagai sifat dasar manusia,
“Sesungguhnya pada
dirimu terdapat dua sifat yang keduanya dicintai oleh Allah ‘azza wajalla.” Aku
bertanya, ‘Sifat apakah itu?’ Beliau menjawab, “Al-Hilmu (santun) dan
rasa malu.” Saya bertanya lagi, ‘Apakah kedua sifat itu telah ada padaku sejak
lama atau baru melekat?’ Beliau menjawab: “Sejak lama.” Saya berkata, ‘Segala
puji Allah Swt. yang telah memberiku dua sifat yang dicintai-Nya.”
Jika
kita perhatikan dalam keseharian, antara santun dan malu memanglah saling
terkait. Orang yang santun biasanya yang memiliki malu, dan orang yang punya
malu dapat kita lihat betapa santunnya ia.
D.
Macam-Macam Malu
Dalam beberapa
literatur, telah dijelaskan bahwa sifat malu memiliki dua jenis atau macam,
yaitu:[7]
- Malu yang merupakan tabiat manusia
Maksudnya
ialah akhlak paling mulia yang diberikan Allah Swt. kepada hamba.
- Malu yang timbul karena adanya
usaha.
Malu
ini didapatkan dengan ma’rifatullah (mengenal Allah ‘Azza wa jalla).
Adapun cara untuk dapat mengenal Allah Swt. adalah dengan mengenal
keagungan-Nya, kedekatan-Nya dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka,
pengetahuan-Nya terhadap mata yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan
oleh hati.
E.
Keutamaan Malu
- Malu adalah warisan para Nabi
terdahulu
Karena
malu adalah sebagai fitrah manusia. Maka, secara tidak langsung, dapat kita
temukan bahwa diantara nabi-nabi yang ada, semuanya menyepakati tentang tema
malu. Maka wajar jika Nabi-nabi terdahulu menyerukan tentang malu, dan malu ini
dihubungkan dengan perbuatan seseorang. Seseorang yang berlaku sesuka hati
tanpa ada batas-batas antara baik dan buruk, ia digolongkan tidak mempunyai
malu. Dalam sebuah riwayat disebutkan,
أَخبَرَنَا أبُوْ خَلِيفَةَ , حدَّثَنَا القَعْنَبِيُّ ,
عَنْ شُعْبَةَ عَنْ مَنْصُورٍ , عَنْ رَبْعِيْ , عَنْ أبِيْ مَسْعُودٍ قال : قال
رسولُ اللهِ صلى اللهُ عليه وسلَّم : )إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوّةِ
الْأُوْلَى : إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ (.
Artinya: “Abu
Khalifah mengabarkan kepada kami, al-Qo’nabiy menceritakan kepada kami, dari
Syu’bah dari Manshur, dari Rab’i, dari Abi Mas’ud, ia berkata: Rasulullah Saw.
bersabda: (Sesungguhnya diantara hal yang diketahui oleh umat manusia dari
perkataan para Nabi terdahulu adalah ucapan, ‘Jika kamu tidak malu, maka
berbuatlah sesukamu’).”[8]
Hadist
serupa juga terdapat dalam Arba’in Nawawi, yaitu kumpulan 40
hadist-hadist pilihan yang disusun oleh Imam Nawawi.[9]
Dari hadist di atas juga dapat kita temukan, bahwa perintah untuk malu lebih
bersifat opsional. Jika seseorang lebih memilih tidak mempunyai malu,
maka ia bisa berbuat sesuka hatinya tanpa memikirkan apakah itu baik atau
tidak. Tanpa memikirkan apakah itu merampas hak-hak orang lain atau tidak,
semuanya tidak lagi dihiraukan. Akan tetapi, jika ia lebih memilih untuk jadi
orang yang punya malu, ia tak akan berlaku sewenang-wenang, karena ia masih
berpedoman pada baik-buruk, merampas atau tidak hak-hak orang lain.
Bisri Mustofa dalam menterjemahkan
kitab Arba’in Nawawi pada pembahasan hadist di atas memberikan
penjelasan sebagai berikut:
“Menuso iku semongso-mongso pekertine
durung bejat, jiwane isih durung nahi, dewene mesti keroso malu ngelakoni
perkoro kang ora perayugo. Dene ono wong nduwe tindak kang ora perayugo, ing
kono wis ora keroso malu, iku mertandani yen jiwane wis nahi, pekertine wis
rusak. Dadi ojo keliru tompo! Ojo nuli tegese: “Senajan lelakon mahu lelakun
doso, asal sing ngelakoni wis ora keroso malu, iyo banjur keno iku ojo. Ora
mengkono”!.[10]
(Manusia itu terkadang budi pekertinya belum bejat, belum buruk, ia pasti
merasa malu berbuat sesuatu yang tidak baik. Sementara itu, ada yang berbuat
tindakan yang tidak baik, di sana ia tidak merasa malu, itu menandakan jika
jiwanya sudah buruk, dan budi pekertinya telah rusak. Jadi, jangan salah
menerima (hadist tersebut)! jangan lantas memaknainya: Walaupun perbuatan tadi
(yang dilakukan) adalah perbuatan dosa, asalkan yang melakukan sudah tidak
punya rasa malu, itu berarti boleh melakukannya (dosa). Bukan begitu!
Jadi jelas bahwa bagaimanpun juga
perbuatan dosa tetaplah perbuatan dosa. Orang yang tidak punya malu, bukan
berarti ia bisa seenak hatinya melakukan dosa. Karena malu itu sendiri adalah
sikap mencegah dari perbuatan dosa, bukan sikap yang memisahkan antara
kebolehan berbuat dosa atau tidak. Terkait dengan sabda Nabi Saw. “Berbuatlah sesukaku”.
Terdapat bebrapa penafsiran,
diantaranya:[11]
a.
Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman,
artinyajika seseorang tidak punya rasa malu, maka berbuatlah sesukamu. Karena
sesungguhnya segala perbuatan yang diperbuat, kelak akan mendapatkan balasan
yang setimpal baik itu di duniaatau akhirat.
b.
Perintah tersebut mengandung arti penjelasan. Maksudnya
adalah malu itu termasuk yang menentukan apakah sesorang itu berberperilaku
baik atau buruk. Orang yang memiliki malu sudah tentu tidak akan melakukan
perbuatan yang buruk. Sebaliknya, seseorang yang dalam hatinya tidak ada lagi
perasaan malu akan bertindak sewenang-wenang, tanpa ada yang mengendalikan.
c.
Perintah tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya,
jika engkau melakukan sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itunmerupakan
sesuatu yang menjadikan engkau tidak merasa malu kepada Allah ‘azza wajalla dan
manusia, maka lakukanlah, jika tidak maka tinggalkanlah.
Diantara
ketiga penafsiran di atas, adalah penafsiran pertama yang – bisa dikatakan –
benar. Wallahu A’lam.
- Malu senantiasa beriringan dengan
iman.
Rasulullah pernah
bersabda:
الْحَيَاءُ وَالْإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِيْعًا . فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا
رُفِعَ الْأخَرُ . ( رواه أبو نعيم عن ابن عمر ) .
Artinya: “Malu dan
Iman keduanya selalu berbarengan, apabila salah satu diantaranya lenyap, maka
yang lainnya pun akan lenyap pula.” (HR. Abu Na’im melalui Ibnu ‘Umar ra.).[12]
Hadist
di atas menunjukkan bahwa malu memiliki hubungan yang erat dengan keimanan
seorang Muslim. Keduanya ibarat koin yang memiliki dua sisi, tidak akan mungkin
kita dapat memisahkan dua sisi tersebut menjadi dua. Seorang muslim yang masih
suka melakukan perbuatan yang buruk – dan bahkan bangga melakukannya – serta
merampas hak-hak orang lain, maka ia belum sepenuhnya dapat dikatakan seorang
mukmin. Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ رضي اللهُ عنهما : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلّى اللهُ عليه وسلَّم
مَرَّ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ وَهُوَ يَعِظُ أَخَاهُ فِى الْحَيَاءِ ,
فقال رسولُ اللهِ صلّى اللهُ عليه وسلّم : دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنَ
الْإِيْمَانِ . (متفق عليه)
Artinya: “Dari
Ibnu Umar ra., ia berkata: Rasulullah saw. melewati seorang Anshor yang sedang
memberi nasihat kepada saudaranya karena pemalu, lalu beliau saw. bersabda:
“Biarkan ia pemalu! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.” (HR. Bukhari dan
Muslim).[13]
Rasul
Saw. membiarkan seseorang yang memiliki rasa malu. Malu yang – bisa dikatakan –
suatu anjuran ini tentunya malu yang memang malu terhadap melakukan perbuatan
buruk, bukan malu untuk melakukan perbuatan yang baik.
- Malu adalah cabang keimanan
Rasulullah Saw.
bersabda:
عن أَبِي هريرة رضي الله عنه : أَنَّ رسول اللهِ صلَّى
اللهُ عليه وسلَّم قال : الْإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ , أَوْ بِضْعٌ
وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً , فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ ,
وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ , والْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ
الْإِيْمَانِ . ( متفق عليه ) .
Artinya: “Dari Abu
Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah bersabda: “Cabang iman ada enam puluh
lebih, atau tujuh puluh ebih, yang paling utama adalah ucapan: LAA ILAAHA
ILLALLAAH (Tidak ada Tuhan selain Allah), dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan gangguan dari jalan. Sedangkan malu adalah bagian dari iman.”
(HR. Bukhari dan Muslim).[14]
Dalam
riwayat lain, nabi saw. Juga pernah bersabda:
الحياءُ والعِيْ شُعْبَتَانِ مِنَ الْإِيْمَانِ , وَالْبِذَاءُ والييَانُ
شُعْبَتَانِ مِنَ النِّفَاقِ
Artinya: “Malu dan
tidak banyak bicara adalah dua cabang dari iman. Dan omongan cabul serta fulgar
(dalam berbicara) itu dua cabang dari kemunafikan. (Dari Abu Umamah).[15]
Dari
dua hadist di atas, tentu kita dapat melihat bahwa ibarat iman adalah sebuah
pohon, maka malu adalah bagian dari beberapa cabang yang ada di pohon iman
tersebut.
- Malu akan mengantarkan seseorang
ke surga
Malu adalah sikap yang disukai
oleh Allah Swt. dan nabi-Nya. Sudah pasti jika kita mempunyai sikap tersebut,
Rahmat Allah Swt. akan senantiasa tercurah pada kita baik di dunia maupun
akhirat. Salah satu Rahmat tersebut adalah berupa surga. Nabi Muhammad SAW.
bersabda:
عن
أبي هُريرةَ رضي الله , عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ( الْحَيَاءُ مِنَ
الْإِيْمَانِ وَالْإِيْمَانُ فِي الْجَنَّةِ , وَالْبَذَاءُ مِنَ الْجَفَاءِ
والْجَفَاءُ فِي النَّارِ .
Artinya: “Dari Abu
Hurairah ra., dari Rasulullah Saw., beliau bersabda: “’Malu adalah sebagian
dari iman, dan iman ada di dalam surga. Sedangkan tidak sopan (ucapan jorok)
itu adalah perangai kasar, dan perangai kasar itu ada di dalam neraka.”[16]
Hadist
di atas jelas menegaskan bahwa surga hanya ditempati oleh orang-orang yang beriman,
dan seorang yang dikatakan beriman adalah ia yang memiliki rasa malu.
- Pada hakikatnya, malu tidak
mendatangkan sesuatu kecuali kebaikan.
Ini
tentunya tidaklah berlebihan. Karena memang malu sendiri mempunyai arti
menghindari hal-hal yang buruk. Jika memang seperti itu, tentunya malu akan
kebaikannya. Selain itu, Nabi Saw bersabda:
وعن عِمْرَانَ بنِ حُصَيْنٍ رضي الله عنهما قال : قال رسول
اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم : ألْحَيَاءُ لَا يَأْتِيْ إِلَّا بِخَيْرٍ . (
متفق عليه) . وَفِيْ رِوَايَةٍ لِمُسْلِمٍ : الْحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ .
Artinya: “Dari
Imran bin Husain ra., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “Perasaan malu
selalu mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam riwayat Muslim
dikatakan: “Setiap perasaan malu mengandung kebaikan.”[17]
Mushthafa
Muhammad ‘Imarah ketika membahas hadist diatas, men-syarakhi-i sabda
Nabi Saw. “Perasaan malu selalu mendatangkan kebaikan.” لأَنَّهُ يحجز صاحبه عن ارتكاب المحارم / karena sesungguhnya malu itu menghindarkan bagi
orang yang punya malu tersebut dari melakukan keharaman. [18]
F.
Implikasi Malu dalam Dunia Pendidikan
Pendidikan
secara umum bertujuan untuk memebentuk pribadi-pribadi yang dewasa, yang tidak
hanya mementingkan dirinya sendiri, tidak pula berlaku sekehendak hati.
Sementara
itu, tak jauh berbeda dengan tujuab pendidikan secara umum. Pendidikan Islam
pun memiliki tujuan yang mulia, yaitu menajdikan tiap-tiap manusia di bumi ini
untuk mejadi manusia yang sempurna, yang dalam konsep Pendidikan Islam sering
disebut sebagai Insan Kamil. Yaitu manusia yang mampu mengemban
tugas-tugasnya baik tugas sebagai ‘Abdullah atau sebagai khlifatu fil
ardhi.
Konsep
pendidikan Islam menggunakan dua sumber pokok dalam Islam, yaitu Al-Qur’an dan
Hadist sebagai acuan utama. Di dalamnya termuat beberapa konsep dalam
pendidikan, diantaranya tentang rasa malu yang telah sedikit di bahas pada
sub-bab sebelumnya.
Rasa
malu yang diperintahkan Islam tentu mempunyai implikasi dalam dunia pendidikan.
Seperti yang telah disebutkan, bahwa malu adalah keengganan yang adalam dalam
hati untuk melakukan perbuatan yang tercela bagi dirinya sendiri atau pun orang
lain.
Jika
dalam pendidikan, subjek dan objek belajar (guru dan murid) tidak mempunyai
rasa malu, maka tentunya pendidikan tersebut telah keluar dari koridor tujuan
utama pendidikan.
Semisal,
dunia pendidikan yang ada di Indonesia tiap tahunnya selalu mempunyai moment
pengujian sikap malu, baik itu siswa, guru atau pun pihak-pihak yang ada di
dalamnya. Moment itu terjadi tiap akhir semester genap, yaitu moment Ujian
Akhir Nasional. Jika kita kembali kepada konsp awal dari rasa malu, maka sudah
sepantasnya kita tidak menemukan kecurangan-kecurangan dalam moment tahunan
tersebut. Tapi, kenyataannya – hampir tiap tahunnya – kita melihat di beberapa
media massa tentang kasus kecurangan-kecurangan dalam UAN. Ini tentunya suatu
hal yang sangat menyedihkan, apalagi ketika kita sadar bahwa Indonesia adalah
negara yang penduduk terbesarnya beragama Islam.
Jika
dalam dunia pendidikan rasa malu sudah menjadi hal yang langka, lalu apakah
kita masih bisa berharap bangsa ini akan maju. Alih-alih maju, berjalan di
tempat pun nampaknya akan sulit.
Rasa
malu terhadap perbuatan buruk pada dasarnya memiliki implikasi yang sangat baik
dalam dunia pendidikan. Karena tugas manusia sebagai ‘Abdullah dan khalifah
fil Ardhi bukanlah tugas yang mudah. Karena syaitan telah meminta
penangguhan dari Allah Swt. untuk menyesatkan manusia-manusia di bumi dengan
salah satunya mengajak manusia melalaikan tugas-tugasnya. Oleh karena itu,
dibutuhkanlah rasa malu. Di mana rasa malu ini – bisa dikatakan – sebagai pengendali
bagi tiap-tiap individu untuk melakukan perbuatan baik atau meninggalkan yang
buruk. Baik yang dimaksud menurut Quraish Shihab adalah yang baik menurut
pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas, dengan catatan
selama masih sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu nilai-nilai
Ilahi.[19]
DAFTAR PUSTAKA
Al-Imam Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi. 1999. Riyadhus Shalihin, terj.
Achmad Sunarto, jilid 1, cet. IV, Jakarta: Pustaka Amani.
Amir
Ala’uddin Ali bin Balban Al-Farisi. 2007. Shahih Ibnu Hibban, trej.
Mujahidin, dkk., jilid 2, cet. I, Jakarta: Pustaka Azzam.
Bisri
Mustofa. 1375 H. Al-Azwaadu
Al-Musthafawiyyah; fii Tarjamah Al-Arba’in An-Nawawi, Kudus:
Menara Kudus.
M. Quraish
Shihab. 2006. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, volume
11, cet. V, Jakarta: Lentera Hati.
Muhammad
Nashiruddin Albani. 2008. Shahih Al-Jami’ Ash-Shagghir wa Ziyaadatuhu, terj.
Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, jilid 2, Jakarta, Pustaka Azzam.
Musthafa
Muhammad ‘Imarah. 1271 H. Jawaahirul Bukhori, Surabaya: Al-Hidayah.
Sayyid
Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadiits, terj. Moch. Anwar, dkk.,
cet. VII (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2005
[5] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, terj. Achmad Sunarto, jilid 1, cet. IV,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 625
[6] QS. Thaha [20]: 121
[7] http://rumahmadina.com/blog-artikel-islam/malu-akhlak-islam/&q=arti-malu,
diakses 23 Juni 2012
[8] Amir Ala’uddin Ali bin Balban Al-Farisi, Shahih
Ibnu Hibban, trej. Mujahidin, dkk., jilid 2, cet. I, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 477
[9] Silahkan lihat Arba’in Nawawi hadist
ke-20
[10] Bisri Mustofa, Al-Azwaadu
Al-Musthafawiyyah; fii Tarjamah Al-Arba’in An-Nawawi, (Kudus: Menara Kudus,
1375 H.), h. 49
[12] Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah
Mukhtaarul Ahaadiits, terj. Moch. Anwar, dkk., cet. VII (Bandung: Sinar
Baru Algensindo, 2005), h. 429
[13] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, terj. Achmad Sunarto, jilid 1, cet. IV,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 624
[14] Ibid,.
[15] Muhammad Nashiruddin Albani, Shahih
Al-Jami’ Ash-Shagghir wa Ziyaadatuhu, terj. Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, jilid
2, (Jakarta, Pustaka Azzam, 2008), h. 675
[16] Amir Ala’uddin Ali bin Balban Al-Farisi, Shahih
Ibnu Hibban, trej. Mujahidin, dkk., jilid 2, cet. I, (Jakarta: Pustaka
Azzam, 2007), h. 479
[17] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf
An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, terj. Achmad Sunarto, jilid 1, cet. IV,
(Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 624
[18] Musthafa Muhammad ‘Imarah, Jawaahirul
Bukhori, (Surabaya: Al-Hidayah, 1271
H.), h. 473
[19] M.
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
volume 11, cet. V, (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), h. 137
0 Response to "Malu dalam Perspektif Islam"
Post a Comment