Amar Ma'ruf Nahi Mungkar
A. Pengertian Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Berkenaan dengan amar ma’ruf nahi mungkar ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa “amar makruf” adalah menghalalkan semua yang baik, sedangkan “nahi mungkar” adalah mengharamkan segala bentuk kekejian.[1]
M. Quraish Shihab menyatakan dalam tafsirnya, yaitu ketika menafsiri QS. Luqman [30]: 17, bahwa menyuruh mengerjakan ma’ruf mengandung pesan untuk mengerjakannya, karena tidaklah wajar menyuruh sebelum diri sendiri mengerjakannya. Demikian juga ketika melarang kemungkaran juga menuntut agar yang melarang terlebih dahulu mencegah dirinya.
Lebih lanjut, Quraish Shihab menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ma’ruf adalah yang baik menurut pandangan umum suatu masyarakat dan telah mereka kenal luas, dengan catatan selama masih sejalan dengan al-khair (kebajikan), yaitu nilai-nilai Ilahi. Sedangkan yang dimaksud dengan mungkar adalah sesuatu yang dinilai buruk oleh mereka serta bertentangan dengan nilai-nilai Ilahi. Jadi, sangatlah wajar jika ma’ruf itu diperintahkan, karena merupakan kesepakatan umum masyarakat. Sedangkan mungkar yang juga telah menjadi kesepakatan bersama, ia perlu dicegah demi menjaga keutuhan masyarakat dan keharmonisannya. Di sisi lain, karena keduanya merupakan kesepakatan umum masyarakat, maka ia bisa berbeda antara satu masyarakat muslim dengan masyarakat muslim yang lain dalam satu wilyah/ masyarakat tertentu.[2] Menurut Sa’id bin Jubair seperti yang dikutip Imam al-Qurthubi, amar Ma’ruf nahi mungkar ini berjalan bersama kaum muslimin yang melakukan kemaksiatan.[3]
B. Perintah Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Rasulullah SAW. bersabda:
عَنْ أبي سعيدٍ الْخُذْرِيِّ رضي الله عنه قال : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ : مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَللْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ ( رواه مسلم )
Artinya: “Dari Abu Sa’id al-Khudri ra. ia berkata, ‘Aku mendengar Rasulullah SAW. bersabda, “Barangsiapa melihat kemungkaran, maka hendaklah ia merubah kemungkaran itu dengan tangannya. Jika tidak sanggup, maka dengan lisannya. Jika tidak sanggup, maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Al-Qur’an dan as-Sunnah menyelarasi wajibnya menyuruh yang ma’ruf dengan mencegah yang mungkar. Adapun yang dimaksud dengan مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَللْيُغَيِّرْهُ menurut Imam Ibnu Daqiq yang dikutip Al-Imam Al-Muhyiddin adalah perintah wajib berdasarkan ijma’ umat. Kewajiban yang dibebankan terhadap seorang muslim hanyalah menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Jadi, ketika ia melakukannya, dan yang diajak tidak menaatinya, maka ia tiada dicela setelah itu. Karena memang ia hanyalah diwajibkan menyuruh dan melarang, bukan diterima (atau tidak diterima). Wallahu a’lam.[4]
Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah [5]: 105.
عَلَيْكُمْ أَنْفُسَكُمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَّنْ ضَلَّ إِذَا اهْتَدَيْتُمْ
Artinya: “Jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk.”
Firman Allah ini merupakan dalil yang mewajibkan amar ma’ruf nahi mungkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang dari yang mungkar). Menurut Al-Qurthubi, memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar adalah sebuah kewajiban jika ada harapan untuk diterima (oleh orang-orang yang diperintahkan), atau diharapkan orang yang zhalim bisa dikembalikan (dari perbuatan zhalimnya) meski dengan dengan kekerasan, selama tidak ada kekhawatiran timbulnya bahaya pada diri pelakunya atau terjadinya fitnah di tengah-tengah kaum muslimin.[5]
Kemudian, Al-Imam Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Arbain Nawawi mengutip pendapat Imam an-Nawawi, bahwa sabda Nabi SAW. وذلك أضعف الإيمان bukan berarti bahwa orang yang dengan hatinya memiliki iman yang lebih lemah daripada keimanan lainnya. Akan tetapi, yang dimaksud adalah serendah-rendah iman. Ini dikarenakan karena amal adalah buah keimanan, dan buah keimanan terbesar dalam masalah mencegah kemungkaran adalah mencegah dengan tangannya. Jika ia terbunuh, maka ia mati syahid.[6]
Dalam riwayat lain disebutkan,
وَلَيْسَ وَرَاءَ ذلِكَ مِنَ الْإِيْمَانِ حَبَّةُ خَرْدَلٍ
Artinya: “Selain dari itu, maka tidak ada lagi iman walaupun sebesar biji sawi.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya maksud dari hadits ini adalah: Tidak tinggal sesudah batas pengingkaran ini (dengan hati) sesuatu yang dikategorikan sebagai iman sampai seseorang mukmin itu melakukannya, akan tetapi mengingkari dengan hati merupakan batas terakhir dari keimanan, bukanlah maksudnya, bahwa barang siapa yang tidak mengingkari hal itu dia tidak memiliki keimanan sama sekali, oleh karena itu Rasulullah bersabda, “Tidaklah ada sesudah itu”, maka beliau menjadikan orang-orang yang beriman tiga tingkatan, masing-masing di antara mereka telah melakukan keimanan yang wajib atasnya, akan tetapi yang pertama (mengingkari dengan tangan) tatkala ia yang lebih mampu di antara mereka maka yang wajib atasnya lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang kedua (mengingkari dengan lisan), dan apa yang wajib atas yang kedua lebih sempurna dari apa yang wajib atas yang terakhir, maka dengan demikian diketahui bahwa manusia bertingkat-tingkat dalam keimanan yang wajib atas mereka sesuai dengan kemampuannya beserta sampainya khitab (perintah) kepada mereka.”[7]
Hampir senada dengan pendapat Ibnu Taimiyah di atas, Imam an-Nawawi pun menyatakan demikian, bahwa sabda فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ (jika tidak sanggup, maka dengan lisannya; dan jika tidak sanggup, maka dengan hatinya), menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu tidak boleh melakukan perubahan selain dengan hatinya. Memang, pengingkaran dengan hati tidak akan merubah kemungkaran. Tapi, yang dimaksud dengan pengingkaran hati adalah ia mengingkari hal itu dan tidak meridlainya serta sibuk dengan berdzikir kepada Allah SWT.[8]
Berdasarkan keterangan di atas, timbul pertanyaan apakah memang amar ma’ruf nahi mungkar hanya boleh dilakukan bagi yang mampu saja? Imam ibnu Daqiq menyatakan bahwa menurut para ulama, tidak disyariatkan dalam amar ma’ruf nahi mungkar pelakunya harus sempuurna ikhwalnya, mengerjakan apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa yang dilarangnya. Tetapi ia wajib memerintahkan meskpiun melakukan apa yang menyelisihi hal itu, karena ia berkewajiban dua hal: memerintahkan terhadap dirinya dan mencegahnya, serta menyuruh orang lain dan mencegahnya.[9]
Dari hadist di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga tingkatan melarang dari kemungkaran, yaitu:
- Mengingkari dengan tangan.
- Mengingkari dengan lisan.
- Mengingkari dengan hati.
Tingkatan pertama dan kedua wajib bagi setiap orang yang mampu melakukannya, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits di atas, dalam hal ini seseorang apabila melihat suatu kemungkaran maka ia wajib mengubahnya dengan tangan jika ia mampu melakukannya, seperti seorang penguasa terhadap bawahannya, kepala keluarga terhadap istri, anak dan keluarganya, dan mengingkari dengan tangan bukan berarti dengan senjata.
Imam Al Marrudzy bertanya kepada Imam Ahmad bin Hambal, “Bagaimana beramar ma’ruf dan nahi mungkar?” Beliau menjawab, “Dengan tangan, lisan dan dengan hati, ini paling ringan,” saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan tangan?” Beliau menjawab, “Memisahkan di antara mereka,” dan saya melihat beliau melewati anak-anak kecil yang sedang berkelahi, lalu beliau memisahkan di antara mereka.
Dalam riwayat lain beliau berkata, “Merubah (mengingkari) dengan tangan bukanlah dengan pedang dan senjata.” (Lihat, Al Adabusy Syar’iyah, Ibnu Muflih, 1/185)
Adapun yang dimaksud merubah dengan lisan seperti memberikan nasihat yang merupakan hak di antara sesama muslim dan sebagai realisasi dari amar ma’ruf dan nahi mungkar itu sendiri. Atau dengan menggunakan tulisan yang mengajak kepada kebenaran dan membantah syubuhat (kerancuan) dan segala bentuk kebatilan. Adapun tingkatan terakhir (mengingkari dengan hati) artinya adalah membenci kemungkaran- kemungkaran tersebut.[10]
Lantas, apakah kewajiban amar ma’ruf nahi mungkar ini bersifat fardhu kifayah atau fardhu ‘ain? Imam ibnu Daqiq, seperti yang dikutip Imam Al-Muhyiddin menyatakan bahwa menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar adalah fardhu kifayah. Jika ada pihak yang memenuhi syarat menjalankannya, maka kewajiban tersebut gugur dari yang lainnya. Begitu pun ketika semua meninggalkannya, maka berdosa semua orang yang mampu melakukannya dengan tanpa udzur. Namun, adakalanya menjadi fardhu ‘ain, misalnya jika suatu masalah tiada yang mengetahuinya keuali dia atau tidak mampu menghilangkannya kecuali dia. Juga seperti orang yang melihat istrinya, anaknya atau hamba sahayanya melakukan kemungkaran dan kelalaian.[11] Rasulullah pernah bersabda:
عن النُّعْمَانِ بَشِيْرٍ رضي الله عنهما عن النّبيِّ صلى الله عليه وسلّم قال : مَثَلُ الْقَائِمِ في حُدُوْدِ اللهِ وَالْوَاقِعِ فِيْهَا كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوْا علَى سَفِيْنَةٍ فَصَارَ بَعْضُهُمْ أَعْلَاهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا , فَكَانَ الَّذِيْنَ فِيْ أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ الْمَاءِ مَرُّوْا عَلَى مَنْ فَوْقَهُمْ , فقالوا لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِيْ نَصِيْبِنَا خَرْقًا وَلَمْ نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا فَإِنْ تَرَكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوُا هَلَكُوْا جَمِيْعًا , وَإِنْ أَخَذُوْا علَى أَيْدِيْهِمْ نَجَوْا وَنَجَوْا جَمِيْعًا . ( رواه البخاري )
Artinya: “Dari Nu’man bin Basyir ra. dari Nabi SAW., beliau bersabda: ‘Perumpamaan orang yang selalu melaksanakan hukum-hukum Allah dan orang yang terjerumus* di dalamnya, bagaikan orang yang membagi tempat di dalam kapal, sebagian mendapat bagian di atas dan sebagian di bawah. Ketika orang-orang yang di bawah membutuhkan air, mereka harus naik ke atas, tentunya akan mengganggu orang yang di atas. Sehingga (yang di bawah) berkata: “Kami akan melubangi kapal ini agar tidak mengganggu orang-orang yang berada di atas.” Jika yang di atas membiarkan hal itu, niscaya semuanya akan binasa, tetapi jika yang di atas menyadari dan mencegah mereka yang di bawah, maka semua akan selamat.” (HR. Bukhari).[12]
Dari hadist ini dapat kita simpulkan bahwa perintah amar ma’ruf nahi mungkar pada dasarnya adalah untuk kebaikan bersama. Kita sesama umat Islam harus saling mengingatkan ketika ada saudara kita yang melakukan kemungkaran. Kita ini berada dalam bahtera yang sama, kita dituntut untuk saling kerjasama agar dapat berlayar mengarungi lautan duniawi menuju pelabuhan surrgawi dengan selamat. Jika masing-masing kita hanya memntingkan diri sendiri tanpa memikirkan saudara-saudara yang lain, bisajadi kita akan teromabang-ambing dalam samudra yang luas tanpa ada yang menemani. Seperti yang disebutkan hadist di atas “niscaya semuanya akan binasa”. Wallaahu A’lam.
Prinsip Dasar Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Telah disebutkan bahwa Imam an-Nawawi menyatakan bahwa orang yang tidak mampu tidak boleh merubah kemungkaran kecuali dengan hatinya. Lantas, yang dimaksud mampu dalam hal ini mampu yang seperti apa?
Perlu diketahui, bahwa amar ma’ruf dan nahi mungkar ada berapa kaidah penting dan prinsip dasar yang harus diperhatikan, dan prinsip ini pun dapat dijadikan indikator seseorang yang dikatakan mampu. Jika prinsip ini tidak diindahkan, alih-alih mencegah kemungkaran tapi justru menimbulkan kemungkaran yang lebih besar dan banyak, diantaranya prinsip-prinsip tersebut adalah:[13]
Pertama, dalam amar ma’ruf harus mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadah. Ini adalah kaidah yang sangat penting dalam syari’at Islam secara umum dan dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar secara khusus, maksudnya ialah seseorang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar ia harus memperhatikan dan mempertimbangkan antara maslahat dan mafsadat dari perbuatannya tersebut, jika maslahat yang ditimbulkan lebih besar dari mafsadatnya maka ia boleh melakukannya, tetapi jika menyebabkan kejahatan dan kemungkaran yang lebih besar maka haram ia melakukannya, sebab yang demikian itu bukanlah sesuatu yang di perintahkan oleh Allah Ta’ala, sekalipun kemungkaran tersebut berbentuk suatu perbuatan yang meninggalkan kewajiban dan melakukan yang haram.
Kedua, Karakteristik orang yang beramar ma’ruf dan nahi mungkar. Sekalipun amar ma’ruf dan nahi mungkar merupakan kewajiban setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk itu sesuai dengan maratib (tingkatan-tingkatan) di atas, akan tetapi orang yang melakukan hal itu harus memiliki kriteria-kriteria. Menurut Ibnu Taimiyah, kriteria-kriteria dalam amar ma’ruf nahi mungkar adalah berilmu, beramar ma’ruf nahi munkar berdasarkan jalan yang lurus, lemah lembut, dan penyantun serta sabar dalam menerima cobaan.[14]
- Mempunyai ilmu dan pemahaman.
Umar bin Abdul Aziz ra: “Siapa yang mengabdi kepada Allah tanpa ilmu, maka kerusakannya akan lebih banyak dari kebaikan.” Maksudnya, bahwa niat dan amal jika tanpa ilmu adalah kejahilan, sesat dan mempertuhankan hawa nafsu.
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal ra: “Ilmu di depan amal, dan amal mengikutinya.” Di sinilah perbedaan antara orang jahiliah dan orang Islam dalam melakukan sesuatu. Seseorang Muslim dapat membedakan mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar, sehingga dalam beramal pasti sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT.
- Melakukan amar ma’ruf nahi munkar berdasarkan jalan yang lurus. Yang merupakan jalan terdekat untuk menuju titik sasaran. Jalan yang lurus menuju ridlo Allah SWT.
- Dilakukan dengan lemah lembut.
Sebagaimana pesan nabi Muhammad SWT.:
مَا كَانَ الرِّفْقُ فِي شَيءٍ إلَّا زَانَهُ ولا كَانَ الْعُنُفُ فِي شَيْءٍ إلَّا شَانَهُ
Artinya: “Tidak ada kelemahlembutan dalam sesuatu kecuali mengindahkannya, dan tidak ada kekrasan dalam sesuatu kecuali menodainya.” (HR. Muslim)
Imam Syafi’i mengatakan seperti yang dikutip Al-Imam al-Muhyiddin dalam pendapat pendapatnya Imam Ibnu Daqiq, bahwa “Siapa yang menasihati saudaranya seara sembunyi-sembunyi, maka ia telah menasihatinya dan menghiasinya. Sebaliknya, siapa yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah membeberkan keburukannya dan menemarkannya.[15]
Jika kita cermati, kriteria ini memang agak berbeda dengan pendapat Imam al-Qurthubi yang telah disebutkan di atas, bahwa amar ma’ruf nahi mungkar boleh dengan kekerasan. Meskipun demikian, akan lebih bijak jika kita beramar ma’ruf dengan lemah lembut, seperti yang ajarkan baginda Rasul SAW.
- Penyantun dan sabar menerima cobaan.
Jika tidak dapat berlaku demikian, maka dikhawatirkan kemafsadatan yang timbul lebih besar daripada kemaslahatannya. Perhatikan pesan Lukman kepada putranya:
“...... dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan Allah.” (QS. Luqman 17)
Ketiga, syarat perbuatan yang wajib diingkari. Karena tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut ini:
1. Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran, kecil atau besar.
2. Kemungkaran tersebut masih ada.
3. Kemungkaran tersebut nyata tanpa dimata-matai.
4. Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan khilafiyah
Keempat, metode dan cara beramar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa atau pemimpin. Ada dua metode, yaitu: (1) Tidak boleh menggunakan kekerasan dan senjata, dan (2) Menasehati penguasa atau pemimpin dengan sembunyi. Rasulullah bersabda:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ ( رواه أبو داود والترمذي )
Artinya: “Paling utamnya jihad adalah mengatakan keadilan di hadapan penguasa yang menyeleweng.”[16]
C. Akibat Melalaikan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Setelah di atas disebutkan nash-nash terkait dengan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, maka dalam pembahasan ini akan disampaikan hadist-hadist tentang hukuman bagi orang-orang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar.
عَنْ حُذَيْفَةَ رضي الله عنه عَنِ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلّم قال : وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنْ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْسِكَنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَايُسْتَجَابُ لَكُمْ . ( رواه التّرمذي ) وَقَال حَدِيْثٌ حَسَنٌ
Artinya: “Dari Hudzaifah ra. Dari Nabi SAW., beliau bersabda: ‘Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, seharusnyalah kalian menyuruh untuk berbuat baik dan mencegah dari perbuatan yang munkar. Jika tidak, sungguh Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, kemudian kamu berdoa kepadan-Nya, tetapi Ia tidak mengabulkan do’amu.”[17]
Dari hadist di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat dua akibat dari melalaikan amar ma’ruf nahi munkar. Pertama, Allah akan menimpakan siksa bagi yang melalaikan amar ma’ruf nahi munkar. Kedua, Allah tidak akan mengabulkan doa orang-orang tersebut, yaitu doa agar Allah menghilangkan siksa yang telah diturunkan kepada mereka.
Terdapat pula hadist yang menjelaskan bahwa siksaan yang dimaksud di atas adalah Allah SWT. Menguasakan kepada orang-orang yang lalai dalam amar ma’ruf nahi munkar orang-orang yang jahat.[18] Apabila keadaannya sudah kacau akibat dari penguasa yang jahat tadi, lalu orang-orang alim di antara mereka berdoa, niscaya doa mereka tidak akan dikabulkan, yakni doa agar mereka dibebaskan dari penguasa yang jahat.[19] Dalam riwayat lain disebutkan:
حَدَّثَنَا يَزِيْد بن هَارُوتْ قال أَخْبَرْنَا إسماعيل بن أبي خالد عن قيس بن أبي حازِم عن أبي بكر الصدِّيق رضي اللهُ عنه قال: أيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ تَقْرَئُوْنَ هذِه الأَيَةِ ( يأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا عَلَيْكُمْ أنْفُسكمْ لَا يَضُرُّكُمْ مَنْ ضَلَّ إِذا اهْتَدَيْتُمْ ) وَإِنِّيْ سَمِعْتُ رسولَ الله صلى اللهُ عليه وسلم يقُولُ : إِنَّ النَّاَسَ إِذَا رَأَوْوا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوْا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يُعَمَّهُمَ اللهُ بْعْقَابِهِ .
Artinya: “Yazid bin Harut menceritakan pada kami, ia berkata: ‘Ismail bin Abi Khalid mengabarkan padaku dari Qais bin Abi Chazim dari Abi Bakr al-Shidiq ra. Abu Bakr berkata: ‘Wahai manusia, sesungguhnya kalian membaca ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu Telah mendapat petunjuk.”. sesungguhnya aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: ‘Sesungguhnya jika manusia pernah melihat orang yang dzalim, kemudian mereka tidak menghukumnya dengan kedua tangannya, maka ia lebih mendekatkan Allah untuk menimpakan hukuman-Nya kepada mereka”.[20]
Hadist di atas juga menunjukkan hal yang sama. Ketika tidak ada yang lagi yang peduli dengan kemungkaran, maka tinggal menunggu hukuman dari Allah SWT. Wallaahu A’lam.
[1] Ibnu Taimiyyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Abu Fahmi, cet. V (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 17
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, volume 11, cet. V, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 137
[3] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 6, terj. Ahmad Khotib, cet. VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 817
[4] Al-Imam Muhyiddin, Syarah Arbain an-Nawawi, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 325
[5] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, jilid 6, terj. Ahmad Khotib, cet. VI, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 819
[6] Al-Imam Muhyiddin, Syarah Arbain an-Nawawi, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 323
[7] http://sunniysalafiy.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Mei 2012.
[8] Al-Imam Muhyiddin, Syarah Arbain an-Nawawi, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 324
[9] Ibid, h. 326
[10] http://sunniysalafiy.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Mei 2012.
[11] Al-Imam Muhyiddin, Syarah Arbain an-Nawawi, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 326
* salah dalam memahami atau mempergunakannya.
[12] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, jilid 1, terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 214
[13] http://sunniysalafi.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Mei 2012.
[14] Ibnu Taimiyyah, Etika Beramar Ma’ruf Nahi Munkar, terj. Abu Fahmi, cet. V (Jakarta: Gema Insani Press, 1993), h. 35
[15] Al-Imam Muhyiddin, Syarah Arbain an-Nawawi, terj. Ahmad Syaikhu, (Jakarta: Darul Haq, 2006), h. 328
[16] Al-Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Riyadhus Shalihin, jilid 1, terj. Achmad Sunarto, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), h. 219
[18] “Hendaknya kalian memerintahkan kepada kebajikan dan mencegah perkara keji, atau hendaknya Allah menguasakan kalian kepada orang-orang yang jahat di antara kalian karena itu, lalu orang-orang yang terpilih diantara kalian berdoa (agar terlepas dari tekanan orang-orang yang jahat) akan tetapi doa mereka tidak dikabulkan.” (HR. Bazaar)
[19] Sayyid Ahmad Al-Hasyimi, Syarah Mukhtaarul Ahaadits, terj. Moch. Anwar, dkk., cet. VII, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2005), h. 703
[20] Imam Ahmad bin Muhammad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad, terj. Fathurrahman, dkk., cet. I, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006), h. 226
0 Response to "Amar Ma'ruf Nahi Mungkar"
Post a Comment