Siswa Duduk Di Belakang? So What Gitu Lhooh……
Ada hal yang
menarik ketika kita membicarakan tentang - bisa dikatakan - budaya pendidikan di negeri ini. Dari pengalaman penulis, mulai jenjang sekolah paling dasar (SD dan sederajat) sampai yang paling tinggi –
katakanlah Perguruan Tinggi – ada kesan yang pada akhirnya membangun sebuah
opini publik bahwa siswa yang “duduk di belakang” itu adalah siswa yang nakal,
yang kurang pintar dan kurang segalanya. Begitu pun sebaliknya, siswa yang
duduk di depan mempunyai image bahwa mereka itu siswa yang rajin, pintar dan
patuh. Hal tersebut menjadikan sebagian guru meminta atau bahkan memaksa untuk
siswa yang sering duduk di belakang untuk pindah ke depan.
Memang, setiap
guru menginginkan semua anak didiknya menjadi pribadi yang diidealkan oleh
agama dan Negara ini, yakni pribadi yang baik secara lahir dan juga batin. Dari
keinginan tersebut, seorang guru pun melakukan upaya-upaya untuk mewujudkannya,
salah satunya dengan diadakannya Proses Belajar Mengajar (PBM). Namun, seperti
yang kita ketahui bahwa siswa- siswa adalah individu-individu yang berbeda baik
dari segi intelektualitasnya, spiritualitas dan juga emosional yang berbeda.
Selain itu, motivasi serta kemampuan menerima pelajaran mereka pun juga
berbeda. Realita tersebut pada akhirnya menimbulkan beberapa hambatan ketika
PBM dilaksanakan. Ada peserta didik yang begitu antusias memperhatikan pendidik yang sedang
menyampaikan materi, namun ada juga yang alih-alih memperhatikan pendidik yang
sedang menampaikan materi, berangkat ke sekolah saja karena paksaan orang tua.
Peserta didik
yang kurang antusias tersebut ketika berada di kelas cenderung lebih memilih tempat duduk
yang ada di belakang. Karena memang kalau duduk di belakang bisa leluasa untuk
tidak memperhatikan guru.
Ketika ada
anak yang demikian, yakni “duduk di belakang” dan tidak memperhatikan
pelajaran, pendidik kemudian memberikan sanksi kepada murid tersebut, misalnya
disuruh menjawab soal, berdiri di depan kelas, dan ada juga yang meminta
peserta didik tersebut untuk duduk di barisan depan. Dalam mendidik memang ada
istilah hukuman. Namun yang sering dilupakan adalah guru kurang bisa memahami siswa-siswanya,
hal tersebut pada akhirnya menjadikan siswa enggan untuk memahami guru. Siswa yang
sebenarnya datang ke sekolah dengan setengah hati, kemudian ketika di kelas pun
malah diberi hukuman, di suruh inilah, disuruh itulah justru menjadikan anak
tersebut semakin anti pada pendidikan.
Berbicara
tentang tempat “duduk di belakang” sebenarnya tidaklah selalu berkonotasi
buruk. Orang yang duduk di belakang tidak selamanya pemalas, apatis, dan
lain-lain yang tidak baik. Pada dasarnya, seseorang yang “duduk di belakang”
tentu dapat melihat semua yang ada dalam ruangan tersebut, berbeda dengan yang
duduk pada baris depan. Siswa yang duduk di baris depan hanya dapat fokus
melihat apa yang ada di depannya – katakanlah yang ada di depan adalah guru dan
media pembelajaran – dan teman di sampingnya. Sedangkan siswa yang duduk di
belakang, ia dapat melihat – hampir – semua yang ada di ruang tersebut. ia tahu
ketika ada teman yang bermain-main ketika sedang PBM, ia tahu ketika ada
temannya yang tidur ketika PBM, ia juga tahu ketika ada yang menyontek saat
ujian, dan sebagainya, dan seterusnya.
Menurut penulis,
ada yang menarik dari “duduk di belakang” ini. Kita semua tahu bahwa negeri ini
sedang dilanda krisis multidimensi, hampir semua sektor pemerintahan mengalami
kemelut yang berkepanjangan. Dan yang paling riskan dalam negeri ini adalah
krisis kepemimpinan. Dimana pemimpin-pemimpin kita saat ini – kebanyakan –
tidak peduli dengan yang ada di belakang mereka yaitu rakyat. Mereka cenderung
hanya melihat yang di depan dan sampingnya. Yang di depan adalah ambisi-ambisi
individualnya, dan yang di sampingnya adalah teman-teman dekat atau kelompoknya
saja.
Kita pasti
tahu bahwa pemimpin-pemimpin kita saat ini adalah orang-orang yang terdidik,
tapi kenapa mereka berulah seperti itu? Timbul pertanyaan menggelitik dalam
benak penulis, apakah pemimpin-pemimpin kita saat ini dulunya adalah
siswa-siswa yang selalu duduk di depan ketika ada di kelas? Siswa yang cuma
bisa melihat ke depan dan sampingnya?
Kesimpulannya,
“duduk di belakang” ketika di kelas memang cenderung menjadikan siswa tidak fokus
pada penjelasan guru, karena memang perhatiannya terbagi ke seluruh ruang,
berbeda dengan yang di depan. Akan tetapi, jika kita kaitkan dengan
kepemimpinan, “duduk di belakang” adalah wajib bagi pemimpin-pemimpin, agar
mereka dapat melihat apa saja yang dibutuhkan rakyatnya. Pemimpin yang baik itu
tidak hanya mementingkan ambisinya dan orang yang didekatnya, bukan hanya focus
pada ambisi-ambisi yang ada di depannya. Pemimpin yang baik itu layaknya siswa
yang duduk di belakang yang bisa melihat seisi kelas, yang tadi telah
disebutkan jika ada temannya yang nyontek, ia bisa tahu. Begitu pun dengan
pemimpin yang duduk di belakang rakyat, ia tahu jika ada rakyatnya yang
kelaparan, ketika tahu tentu akan ada upaya agar di Negara yang dipimpinnya
tidak ada lagi rakyat yang kelaparan. Begitu pun ketika pemimpin itu tahu bahwa
yang mereka pimpin memiliki kekayaan alam yang melimpah, mereka akan
menggunakan kekayaan tersebut untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan malah
menjualnya dan menikmati hasil dengan teman-teman didekatnya. Yang tak kalah
penting juga adalah tahu saja tidaklah cukup, tahu yang kemudian mengambil
tindakan, tidak membiarkannya. Negeri ini merindukan pemimpin-pemimpin yang
“duduk di belakang” yang selalu memperhatikan rakyatnya.
manteb beb...lanjutkan..aku akan selalu dibelakangmu..hauahahah
ReplyDelete