Pendidikan - Yang Semoga Saja - Bermutu
“
Menurut Tom Peters dan Nancy Austin dalam Edward Sallis menyatakan bahwa mutu
adalah sebuah hal yang berhubungan dengan gairah dan harga diri.” (2001: 29).
Jepang pasca kekalahannya di Perang Dunia ke-2 (1945) dilanda krisis yang
cukup berat, apalagi dampak yang terjadi akibat bom atom yang dijatuhkan sekutu
di kota Hiroshima dan Nagasaki cukup membuat pemerintah Jepang harus mulai
menata kembali negaranya dari awal. Mungkin tidak berlebihan jika kami katakan
bukan hal yang mudah bagi suatu Negara untuk bangkit dari keterpurukan dalam
waktu yang singkat. Namun, itu tidak untuk Jepang. Dalam waktu yang tidak lama
(sekitar tahun 1970-1980), Jepang mampu menguasai pasar di Dunia dengan
hasil-hasil industrinya.
Keberhasilan tersebut bukan karena suatu keajaiban yang tiba-tiba turun
dari langit. Keberhasilan yang didapat dari jerih payah semua elemen, mulai
dari pemimpin sampai pada rakyat yang dipimpin. Selain karena memang Jepang
terkenal dengan etos kerja rakyatnya yang baik, Jepang pun selalu menerapkan
system penjaminan mutu yang baik. Jepang bukanlah Negara yang pertama
mencetuskan gerakan mutu dalam industry. Akan tetapi, Jepang telah membuktikan
bahwa mutu adalah hal yang penting yang dapat mendatangkan pasar.
Berbicara tentang keberhasilan Jepang dalam merebut pasar dunia ini tidak
bisa lepas dari beberapa tokoh yang mempunyai andil besar di dalamnya, seperti Deming
(1900). Karir Deming sebagai teoritikus manajemen dimulai di Barat, namun
justru Jepang memanfaatkan keahliannya sejak tahun 1950. Selain Deming,
terdapat bebrapa tokoh yang membawa pengaruh di Jepang, seperti Juran, Crosby,
dan Peters. Kesemuanya itu mempunyai pemikiran yang – bisa dikatakan – sama
berkaitan dengan mutu.
Mutu sendiri biasa diasosiasikan dengan kualitas atau tingkat. Mutu yang baik
berarti kualitas yang baik atau tingkatan yang baik. Namun, IBM menetapkan
definisi: “Mutu sama dengan kepuasan pelanggan”. Atau dapat pula didefinisikan
sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelangan. Jadi,
sebuah industry atau organisasi dapat dikatakan bermutu jika mampu menghasilkan
keluaran yang dapat memuaskan pelanggan. Tak terkecuali dalam pendidikan. Dan
layaknya pepatah “setali dua uang”, selain industry yang bermutu, pendidikan
Jepang pun mempunyai mutu yang baik pula.
Jika dalam industry yang dimaksud pelanggan adalah konsumen/ pemakai
produk. Lantas siapakah pelanggan jika kita berbicara tentang lembaga pendidikan? Edward Sallis mengklasifikasikan
pelanggan pendidikan menjadi dua kelompok, eksternal dan internal.
Pelanggan eksternal di bagi menjadi tiga: (1) Pelanggan Eksternal Utama, yaitu
pelajar; (2) Pelanggan Eksternal Kedua, yaitu Orang tua/ Kepala Daerah/
Sponsor; dan (3) Pelanggan Eksternal Ketiga, yaitu Pemerintah/ Masyarakat/
Bursa Kerja. Adapun untuk pelanggan internal dalam pendidikan adalah Guru/
Staf.
Perlu kita ketahui, terdapat hal yang menarik dari ide dasar yang
dimiliki oleh Philip Crosby tentang mutu. Ia mengungkapkan seperti yang dikutip
Edward Sallis (terj. Ali Riyadi, 2011: 110) bahwa ada dua ide dasar dalam mutu,
yaitu: (1) Ide bahwa mutu itu gratis, dan (2) Kesalahan, kegagalan, pemborosan,
dan penundaan waktu – serta semua hal yang tidak bermutu – bisa dihilangkan
jika institusi memiliki kemauan untuk itu.
Kita lihat ide dasar yang pertama bahwa mutu itu gratis. Ia memang bukan
hadiah, tapi ia cuma-cuma. Semua hal yang membutuhkan uang adalah hal yang
‘tidak bermutu’ – segala bentuk kegiatan yang tidak melibatkan mutu sejak awal.
Memang agak aneh jika kita melihat ide dasar yang pertama ini. Seperti
yang kita ketahui bahwa uang merupakan komponen yang penting dalam suatu
industry atau organisasi. Tidak hanya itu, hamper semua yang ada di dunia ini
membuthkan uang, tapi Crosby justru mempunyai anggapan yang berbalik 180
derajat dari realita. Apa ini berarti ide dasar yang pertama ini sudah tidak
relevan lagi? Kami kira ide tersebut masih relevan jika kita memahami ide
tersebut dengan tidak melihat dari tekstualnya saja, namun mencoba menggali
substansi dari ide tersebut. Kami mencoba memberikan penafsiran – yang mungkin
benar atau mungkin juga salah – tentang ide tersebut, bahwa ide tersebut memuat
kandungan jika suatu industry atau organisasi atau pun lembaga orientasi
awalnya adalah uang, maka bisa dipastikan ia tidak bermutu. Begitu pun sebaliknya,
ia dapat dikatakan bermutu jika orientasi pertamanya bukan karena uang.
Nah, menyikapi ide dasar yang pertama ini – dengan penafsiran seperti
yang disebutkan di atas – timbul pertanyaan yang kami kaitkan dengan lembaga
pendidikan di negeri ini. Bagaimana dengan kebanyakan lembaga pendidikan yang
ada di negeri ini? Apakah lembaga pendidikan yang kita miliki saat ini sudah
bermutu atau justru masih jauh untuk bisa dikatakan sudah bermutu? Tentu, semua
rakyat Indonesia ini mengharapkan lembaga pendidikan yang bermutu, karena
memang kemajuan suatu bangsa itu ditentukan dengan pendidikannya. Semakin
bermutu pendidikan suatu bangsa, maka semakin mudah bangsa tersebut untuk maju.
Begitu pun sebaliknya, semakin buruk pendidikan suatu bangsa, maka alih-alih
untuk maju, bisa bertahan pun itu sudah merupakan prestasi. Namun, terima atau
tidak, mau atau tidak, kita memang harus menerima mau menerima kenyataan bahwa
lembaga pendidikan yang kita miliki saat ini banyak yang tidak bermutu. Cobalah
kita lihat lembaga pendidikan yang ada di daerah kita masing-masing, apakah
masih ada lembaga pendidikan yang berorientasi pada mutu, lembaga yang ingin
memuaskan pelanggannya?
Mungkin ada yang menjawab masih ada, tapi – dengan tidak bermaksud
menjelekkan lembaga pendidikan di Negeri ini – kami meyakini lembaga-lembaga
pendidikan di beberapa daerah yang ada sudah tidak berorientasi mutu, namun
uang. Lembaga pendidikan sudah beralih fungsi menjadi ladang bisnis untuk
meraup keuntungan bagi segelintir orang, bukan tempat mendidik dan mencerdaskan
generasi penerus bangsa. Jika demikian, apa mungkin lembaga pendidikan tersebut
mampu memuaskan pelanggannya. Memang kemungkinan bisa itu ada, namun – tidak
berlebihan jika dikatakan – tidak mudah, apalagi jika kita kembali ke ide dasar
Crosby yang pertama (Quality Is Free).
Kita lihat saja pada system perekrutan tenaga kependidikan, bukan rahasia
umum lagi jika ingin jadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) harus menyertakan uang
sebagai pelicin (dengan tanpa bermaksud men-generalisasikan bahwa semua
PNS itu menggunakan suap semua). Selain itu, kita juga tidak akan merasa
kesulitan untuk menemukan lembaga pendidikan yang menerima siswa dengan tanpa
menggunakan tes, cukup dengan membayar uang yang cukup banyak pada lembaga tersebut.
Bukan kompetensi yang diutamakan, namun materi yang menjadi penetu.
Memang sangat menyedihkan ketika kita berbicara tentang pendidikan di
Indonesia ini. Dua hal di atas hanyalah segelintir gambaran ketidak bermutuan
pendidikan yang kita miliki. Nampaknya ide dasar tentang ‘Mutu itu gratis’
memang benar, Karena kita bisa melihat pendidikan di zaman sekarang yang serba
mahal justru menghasilkan manusia-manusia yang kurang kompeten. Berbeda ketika
kita melihat masa lalu, di mana pendidikan memainkan peranan penting dalam
masyarakat, pendidikan yang menghasilkan manusia-manusia yang berkompeten.
Padahal, pendidikan di masa itu tidak mahal, bahkan gratis. Kita ambil contoh
pendidikan di pesantren, dari segi tenaga pendidiknya, pesantren memiliki SDM
yang mumpuni, dan yang terpenting ialah orientasi para pendidik ini bukan uang
atau keduniawiaan, namun orientasi utamanya adalah mengamalkan ilmu. Selain
itu, pesantren pun tak pernah meminta sepeser pun uang dari wali murid.
Kembali ke ide dasar Crosby, ide dasar yang kedua adalah ‘Kesalahan,
kegagalan, pemborosan, dan penundaan waktu – serta semua hal yang tidak bermutu
– bisa dihilangkan jika institusi memiliki kemauan untuk itu.’ Ide ini juga
dikenal dengan Zero Defect (Tanpa Cacat). Ide ini adalah sebuah ide yang sangat kuat.
ide yang berkomitmen untuk selalu sukses dan menghilangkan kegagalan. Ide ini
melibatkan penempatan system pada sebuah wilayah yang memastikan bahwa segala
sesuatunya selalu dikerjakan dengan metode yang tepat sejak pertama kali dan
selamanya. Perlu kita ketahui bahwa tugas peningkatan mutu dalam pendidikan
adalah membangun system dan struktur yang menjamin terwujudnya metode dalam lembaga
pendidikan. Metode tanpa cacat dalam dunia pendidikan menginginkan agar seluruh
pelajar dan murid dapat memperoleh kesuksesan dan mengembangkan potensi mereka.
Menurut kami, ide kedua ini sesuai dengan Hadist Nabi SAW. yang artinya:
“Segala sesuatunya tergantung pada niatnya…….” Suatu lembaga atau pun industry
dapat menggunakan metode tanpa cacat ini jika memang ada kemauan orang-orang
yang bergerak di dalamnya. Pendidikan pun demikian, sebenarnya bisa bagi suatu
lembaga menerapkan metode zero defect ini, tergantung mau atau tidaknya para
‘penggerak lembaga pendidikan’ berkomitmen dari awal untuk menerapkan zero
defect ini. Jika dari awal memang ada niatan untuk itu, maka bukanlah hal
yang mustahil jika zero defect ini akan menjadikan lembaga pendidikan
lebih bermutu. Lantas, bagaimana dengan lembaga pendidikan di Indonesia ini? Wallaahu
A’lam……
Demikian sedikit tulisan tentang mutu pendidikan, kami yakin banyak
kekurangan pada tulisan ini. Jika tidak terjadi kesalah pahaman, kami sarankan
untuk membaca buku yang menjadi rujukan utama tulisan ini, yaitu “Manajemen
Mutu Terpadu Pendidikan” karya Edward Sallis yang telah dialih bahasakan oleh
Dr. ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi, M. Ag, terbitan IRCiSoD, Jogjakarta.
Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Amiiiiin……..
0 Response to "Pendidikan - Yang Semoga Saja - Bermutu"
Post a Comment